Is your network connection unstable or browser outdated?
oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Syaikh al-Fasani dalam al-Majalisus Saniyah, Allah SWT membagi makhluk menjadi tiga kelompok. Pertama, ada yang diciptakan memiliki akal namun tanpa syahwat. Kelompok ini adalah kalangan malaikat. Kedua, ada yang diciptakan memiliki syahwat namun tanpa akal. Kelompok ini adalah kalangan para hewan di darat maupun di laut. Ketiga, ada yang diciptakan memiliki akal dan syahwat sekaligus. Mereka ini adalah kalangan manusia. Manusia yang akalnya mendominasi syahwatnya, ia laksana malaikat. Sebaliknya, manusia yang syahwatnya mengalahkan akalnya sampai-sampai memperuruti terus kehendak hawa nafsu, ia laksana hewan yang bertubuh manusia.
Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Qathrul Ghaits, nafsu itu memiliki tujuh tingkat. Pertama, nafsu ammarah. Pasukannya adalah kikir, serakah, dengki, bodoh, sombong, syahwat, dan murka. Kedua, nafsu lawwamah. Pasukannya adalah suka mencela, mengumbar nafsu, menipu, bangga diri, ghibah, riya, aniaya, bohong, dan lalai. Ketiga, nafsu mulhimah. Pasukannya adalah dermawan, qanaah, murah hati, rendah hati, tobat, sabar, dan penuh tanggung jawab. Keempat, nafsu muthmainnah. Pasukannya adalah pemurah, tawakal, senantiasa ibadah, syukur, ridha, dan takut kepada Allah. Kelima, nafsu radhiyah. Pasukannya adalah kemuliaan, zuhud, tulus, wara, terus melatih jiwa, menepati janji. Keenam, nafsu mardhiyah. Pasukannya adalah berakhlak mulia, meninggalkan semuanya selain Allah, lembut, selalu mengajak perbaikan, penuh maaf, dan penuh cinta. Ketujuh, nafsu kamilah. Pasukannya adalah ilmul yakin, ainul yakin, dan haqqul yakin. Yang selama ini kita sebut syahwat tak lain adalah gejolak nafsu (isytiaq al-nafsi).
Bagi Syaikh al-Fasani, pengertian beriman kepada malaikat adalah meyakini esistensi mereka dan dapat mengidentifikasi mereka. Minimal mengenal nama dan tugas inti mereka. Ciri khas malaikat adalah seperti terurai dalam al-Qur’an, “Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), hamba-hamba yang dimuliakan” (QS. al-Anbiya/21: 26). Menurut pengarang Tafsir Jalalain, yang dimaksud “dimuliakan” dalam ayat di ini adalah dimuliakan di sisi Allah SWT. Kendati nyatanya, malaikat dimuliakan di sisi manusia. Ayat ini mengklarifikasi malaikat itu hamba Allah SWT bukan anak Allah SWT. Seperti tuduhan, “Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil anak” (QS. al-Anbiya/21: 26). Ciri lain dari malaikat adalah diciptakan oleh Allah SWT dari cahaya. Hal ini terungkap dari hadits yang bersumber dari Aisyah, Nabi SAW bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya. Jin diciptakan dari nyala api. Adam diciptakan dari apa yang ada pada kalian” (HR. Muslim). Secara leksikal, kata “malaikat” itu bentuk plural dari “malak”. Di dalam al-Qur’an termaktub ciri malaikat sebagai makhluk yang tidak pernah durhaka kepada Allah SWT, “Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. al-Tahrim/66: 6).
Secara fisikal, ciri malaikat, seperti diungkap Syaikh Nawawi Banten dalam Qaimuth Thughyan adalah jisim-jisim yang lembut yang mempunyai ruh. Allah SWT memberikan kemampuan kepada mereka untuk merubah bentuk dan rupa yang beraneka dengan tetap indah dan memesona ketika dipandang oleh makhluk lainnya.
Sementara itu jumlah malaikat , tulis Syaikh al-Fasani, tidak ada yang dapat menghitung jumlah bilangan mereka kecuali Allah SWT. Namun Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Qathrul Ghaits mengatakan bahwa malaikat dapat diketahui dari tiga hal. Pertama, keadaan mereka. Kedua, perbuatan mereka. Ketiga, bentuk-bentuk mereka.
Perlu diketahu juga, lanjut Syaikh Nawawi Banten, pada diri manusia saja terdapat dua puluh malaikat hafadzah (penjaga), seperti hadits Nabi SAW yang dikutipnya, “Ustman bin Affan bertanya kepada Nabi SAW, “Berapa malaikat yang ada pada seorang manusia?” Kemudian Nabi SAW menjawab, “Ada dua puluh malaikat”.
Selain taat dan tidak pernah durhaka, ciri khas malaikat adalah, “Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya” (QS. al-Anbiya/21: 26). Maksudnya, menurut pengarang Tafsir Jalalain, malaikat itu sama sekali tidak pernah berkata melainkan setelah ada titah dari Allah SWT.
Seperti diketahui malaikat tidak punya syahwat tapi memiliki akal. Mereka menjadi makhluk yang senantiasa beribadah siang dan malam tiada henti. Inilah ciri lain dari malaikat, seperti firman Allah SWT, “Maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu bertasbih kepada-Nya di malam dan siang hari” (QS. Fushshilat/41: 38).
Di samping itu, malaikat juga memiliki tugas dan kedudukan tertentu, misalnya Jibril. Allah SWT menjelaskan, “Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arsy” (QS. al-Takwir/81: 19-20).
Menurut Syaikh Nawawi Banten, Jibril adalah malaikat safarah (malaikat penghubung), seperti halnya Mikail, Israfil, dan Azrail. Jibril juga adalah malaikat yang turun menghampiri para nabi. Sedangkan Mikail adalah malaikat yang diberikan kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengatur hujan: besar-kecilnya, lama atau sebentarnya.
Sementara itu, Israfil adalah malaikat yang diberikan amanah untuk meniup sangkakala. Nabi SAW bersabda, seperti dikutip Syaikh Hamami Zadah dalah Tafsir Surah Yasin, ”Sangkakala adalah sebuah tanduk yang panjangnya sejauh perjalanan tujuh ribu tahun. Pada tanduk itu ada tujuh lubang. Jarak antar lubang sejauh perjalanan seribu tahun”.
Namun begitu, lanjut Syaikh Hamai Zadah, bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai jumlah bilangan ditiupnya sangkakala. Ada yang mengatakan dua kali dan ada juga yang mengatakan tiga kali. Tiupan pertama untuk mematikan dan tiupan kedua untuk membangkitkan manusia dari kubur menuju Padang Mahsyar.
Argumentasi sangkakala ditiup tiga kali didasarkan atas tiga ayata berikut secara berturut-turut. Pertama, “Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri” (QS. al-Naml/27:87).
Tiupan kedua dan ketiga didasarkan atas firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-Zumar/39 ayat 68, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)”.
Namun menurut Syaikh Hamami Zadah pendapat yang mengatakan sangkakala ditiup dua kali adalah pendapat yang lebih shahih. Alasannya, tiupan mengejutkan dan tiupan kematian itu satu kali tiupan. Artinya pada tiupan pertama manusia merasakan keterkejutan yang luar biasa dan setelah itu mereka mengalami kematian (karena tiupan itu).
Selanjutnya, tulis Syaikh Nawawi Banten, Azrail adalah malaikat yang diamanahi Allah SWT untuk mencabut nyawa makhluk yang mempunyai ruh. Dalam Tafsir Surah Yasin, Syaikh Hamami Zadah mengutip hadits Nabi SAW, “Setiap makhluk binasa. Para malaikat penyanggah Arasy, yakni Jibril, Mikail, Israfil, dan Azrail. Mereka tidak dimatikan.
Namun kemudian Allah SWT memerintahkan kepada Azrail mencabut nyawa ketiga malaikat yang lain (Jibril, Mikail, Israfil), lalu Izrail mencabut semua ruh mereka”. Dalam satu riwayat lain, tulis Syaikh Hamami Zadah, diungkap bahwa datanglah titah Allah SWT kepada Jibril, Mikail, Israfil, dan Azrail, “Matilah kalian!”.
Secara mata telanjang, Nabi SAW mengakui pernah bertemu dengan Jibril berikut karakteristiknya, “Aku pernah melihat Jibril turun memenuhi langit dan bumi dengan memakai pakaian sutera dan dikelilingi intan dan permata” (HR. Ahmad). Hadits ini juga memberi informasi bahwa Jibril dapat merubah bentuk sesuai kebutuhan.
Namun ketika Isra ke langit, Nabi SAW melihat Jibril dalam rupa yang lain, seperti diungkap al-Qur’an, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu) di Sidratil Muntaha” (QS. al-Najm/53: 13-14). Sangat sulit digambarkan tentunya rupa asli Jibril seperti apa.
Para ahli tafsir, misalnya pengarang Tafsir Jalalain, hanya menyinggung soal “Sidratul Muntaha” dalam ayat ini. Menurutnya, Sidratul Muntaha adalah nama sebuah pohon Nabaq yang berada di sebelah kanan Arasy. Tidak satu malaikat pun dan makhluk lain yang dapat melewati tempat itu, selain Nabi SAW saat Isra dan Mikraj.
Arasy itu sendiri, ungkap Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Qathrul Ghaits adalah permata berwarna hijau. Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, Arasy adalah yang terbesar. Setiap hari Arasy diliputi oleh seribu cahaya beraneka warna. Tak ada satu makhluk pun yang dapat memandang Arasy. Segala yang ada di dalam Arasy seperti lingkaran di tanah lapang.
Digambarkan oleh Syaikh Utsman al-Khubari dalam Durratun Nashihin bahwa Arasy adalah kiblat bagi para penghuni langit seperti halnya juga Ka’bah menjadi kiblat bagi para penghuni bumi. Allah SWT berfirman, “Dia adalah Tuhan yang memiliki Arsy yang agung” (QS. al-Taubah/9: 129). Ayat ini juga memperjelas kedudukan Arasy. Menurut Syaikh Nawawi Banten, malaikat pemanggul Arasy adalah kelompok malaikat yang pertama kali diciptakan. Nabi SAW bersabda, “Aku telah izinkan untuk menceritakan tentang malaikat dari malaikat Allah yang memanggul Arasy. Jarak antara telinga dan pundaknya sepanjang perjalanan tujuh ratus tahun” (HR. Abu Daud).*(sam/mf)
%PDF-1.7 %âãÏÓ 1 0 obj <> endobj 2 0 obj <> endobj 5 0 obj <> endobj 6 0 obj <> endobj 7 0 obj <> stream }è}}AŸUõÂXñ"É3¤ÄÅò0�óI9ÀËÃTFÙ0SœòcÝ{F™{ê�Š˜¨Å½Ì¦Ž5œ°¨�š^·Þü ˜ñ$ˆ¾ºuk ’OåO¼ÙbmDÙvy†ÄYusZï—ïÓ�;Zuök‚‚=¢¸>IóT¥†_ÕYCI¥µçÊ÷X½»¶)^/xÔ}ð iÇwyÄ0[®Ò6ܱ–p�™±¼�F–•Ñ Ýûm ¾PºÕØÁgJì@_¾ dªª*yQ:º%:TxÄÛ Œx.Ž—ðZŽ\¿lSÆ–îÆ3á-¹·M}¢�-}5¦3°à›É[†\Ü ÔÒ]:M†pŽ�¶Å“ :éÌR¿DÂÇ2èqïýô'¸¡RIÆNäwwÁö´×º;•E>8Š·0eþUvÛóÄÕÁ7ö€ <�ŸÓ7P�‰ý#îQˆ{׊¥Ç0±7ãU/WÚ7±ùùü&Ÿ«ª¿ñ�ž¦òe +=³Âf¿€0þ€ÇÞÐfë¶I(,8¯Hkþb ´$“º7>Þn¾D4'Ưâ²ó™«È*A&Zœq8Áî¥-¶³L" ôçF>èÚü¬qªAé"•ë)éÑÜúÇœ´UŸ�, R“Ü?8Ð[8ôH38/G†ˆƒS|æ²}˜t}ì¤ ýèû½)z6õ:@¾ö(þž¡þ{‰Í…d^/Sœe!Œgv[õv¦,Õ¨ëÎËö´k
At vero eos et accusamus et iusto odio dignissimos ducimus qui blan ditiis praesentium voluptatum deleniti atque corrupti quos dolores et quas molestias excepturi sint occaecati cupiditate non provident, sim ilique sunt in culpa.
Tidak gampang menjelaskan konsep keesaan Tuhan dalam agama Hindu. Orang-orang non- Hindu biasanya dengan mudah menyimpulkan agama Hindu tidak mengenal konsep keesaan Tuhan. Yang selalu terbayang di dalam benak mereka, ada tiga sosok yang dipersepsikan sebagai Tuhan atau Dewa, yaitu Brahma yang dikenal sebagai Sang Pencipta, Wisnu sebagai Sang Pelindung atau Pemelihara, dan Syiwa sebagai Sang Penghancur atau Pelebur.
Meskipun disebut tiga nama, Tuhan di dalam agama Hindu diyakini tetap Esa, yang di dalam kitab Upanisad disebut: Ekam evam adwityam Brahma (Hanya satu Tuhan, tidak ada yang kedua). Tuhan Yang Maha Esa itu disebut berbagai nama atau abhiseka.
Tuhan dalam agama Hindu disebut dengan ribuan nama. Brahma Sahasranama (seribu nama Brahma), Wisnu Sahasranama (seribu nama Wisnu), Siwa Sahasranama (seribu nama Siwa), dan sebagainya. Satu wujud yang memiliki banyak nama mengingatkan kita pada konsep al-Asma al-Husna dalam agama Islam. Namun jika dikaji lebih mendalam, ketiga sosok itu sesungguhnya tetap satu. Tiga nama besar Tuhan (Trimurti) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan, metodologi Hinduisme menyatukan yang banyak dapat digunakan para penganut agama dan kepercayaan lain untuk memahami dan menjelaskan konsep keesaan Tuhan yang sejati. Pengalaman mencari Tuhan bagi umat Hindu jauh lebih panjang dari pada penganut agama-agama besar dunia lainnya.
Bagi orang yang mendalami tasawuf dan teosofi, seperti karya-karya Ibn Arabi dan Shadruddin Muhammad al-Syairazi yang lebih dikenal dengan Mulla Sadra, khususnya tentang falsafah wujud, mistisme Yahudi (Kabbalah), dan konsep Taoisme, akan lebih mudah memahami konsep ketuhanan dalam agama Hindu. Dalam agama Hindu, keesaan Tuhan juga dibedakan antara Brahmana Nirguna, yakni Tuhan yang sama sekali tidak punya atribut dan bentuk tertentu (nirupam) dan belum terpengaruh oleh apapun juga, termasuk kekuatan belenggu maya serta berkedudukan pada alam utama Satyaloka Yang Maha Sempurna (Paramasiwa). Sedangkan Brahma Saguna keberadaannya bersifat maya. Ia juga tidak memiliki wujud dan rupa, tapi sudah aktif memberikan efek dan pengaruh terhadap segala ciptaannya.
Dalam keyakinan penganut agama Hindu, manusia tidak mungkin melukis sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa, karena Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas. Apapun yang terlintas di dalam pikiran tentang Tuhan pasti itu bukan Tuhan. Konsep Keesaan Tuhan lebih bersifat apophatic daripada cataphatic. Inilah yang dimaksud konsep neti, neti (bukan, bukan) di dalam Tradisi Hindu India. Untuk memahami Keesaan Tuhan dalam agama Hindu, tak ada jalan lain kecuali terus mendalami ajaran agama dan memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Mereka disarankan untuk mendalami sejumlah buku-buku agama Hindu, seperti kitab Veda, dengan bagian-bagiannya seperti kitab Vedanta (Upanisad), yang keduanya menjadi sumber paling otoritatif dalam mendalami kedalaman ajaran agama Hindu.
Bagi orang yang taraf kognitif dan tingkat spiritualitasnya masih rendah atau pemula, mereka masih membutuhkan media dalam melakukan pemujaan. Mereka membutuhkan simbol untuk menghadirkan dirinya berupa arca (patung), relief, gambar, atau bentuk-bentuk fisik lainnya.
Dalam melaksanakan upacara ritual keagamaan, mereka masih membutuhkan sarana upacaranya dalam bentuk persembahan dan sakrifasi, seperti buah-buahan, makanan, binatang, dan lain lain. Berbeda dengan orang-orang yang sudah sampai ke tingkat lebih tinggi, tidak perlu lagi memerlukan media apapun karena sudah biasa menghayati hakikat Tuhan (Brahma Nirguna) dan selanjutnya meleburkan dirinya menjadi diri-Nya. Ia sudah mencapai apa yang disebut dengan moksa, sebuah pembebasan diri dari berbagai kemelekatan materi dan duniawi. Mirip apa yang dialami praktisi sufi jika sudah mencapai tingkat fana dan baqa.
Dalam teologi agama Hindu dikenal juga banyak aliran, seperti halnya dalam agama-agama lain, termasuk agama Islam. Dari mazhab sangat konservatif sampai kepada mazhab yang sangat rasional, bahkan ada mazhab yang dalam Islam sudah disebut kafir, tetapi masih diakomodasi sebagai bagian dari kepercayaan agama Hindu. Misalnya mazhab atau aliran Samkhya dan Mimamsa yang menyatakan keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan, sehingga keberadaan-Nya tidak bisa diakui. Dalam doktrin Samkhya ditegaskan Tuhan yang abadi tidak mungkin jadi sumber bagi alam dan dunia yang selalu berubah.
Tuhan hanya gagasan metafisik yang diciptakan untuk suatu keadaan. Ini mengingatkan kita pada filsafat Positivisme yang digagas oleh filosof Prancis, Auguste Comte (1798-1857), yang menyatakan perkembangan keberadaan manusia berproses dari fase mitos-spiritual yang berawal dari tahap fetiyisme (pemujaan terhadap benda-benda), kemudian berkembang ke tahap monoteisme. Perkembangan akal budi manusia belakangan sudah bisa menyingkirkan asumsi-asumsi teologis yang membatasi otonomi dan otoritas manusia atas nama Tuhan.
Tentang ajaran keesaan Tuhan, ada dua mazhab yang dominan dalam agama Hindu, yaitu Mazhab Dwaita (Dvita) dan mazhab Adwaita (Adwita). Yang pertama mengakui adanya dualitas Tuhan (the duality of God), yakni mengakui adanya personal God (Brahma Nirguna). Mereka mengakui dan memuja Tuhan dengan berbagai nama, seperti Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain. Sedangkan yang kedua menolak dualitas ketuhanan (the duality of God) dengan menegaskan bahwa hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.
Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya. Wacana seperti ini mengingatkan kita ke dalam teologi Islam yang juga ada menekankan apek tasbih (similitary) dan yang lainnya menekankan aspek tanzih (uncomparability) Tuhan dengan makhluknya. Mazhab ini mirip dengan monoisme atau panteisme karena meyakini alam semesta tidak sekedar berasal dari Brahman, namun pada “hakikatnya” sama dengan Brahma.
Menurut Prof S Abhayananda dalam History of Mysticixm, masih ada satu mazhab lagi yang menggabungkan antara kedua mazhab di atas, yaitu Mazhab Kapila. Mazhab ini menggambarkan Tuhan sebagai the One in the Many dan the Many in the One. Mazhab ini mirip dengan apa yang digagas oleh Ibn Arabi ketika menjelaskan keesaan wujud (al-Wahdah al-Wujud).
Prof Dr Nasarudin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Dialog Jumat Koran Kompas, 11 Januari 2019
%PDF-1.7 %���� 2867 0 obj <> endobj 2883 0 obj <>/Encrypt 2868 0 R/Filter/FlateDecode/ID[<72D75EAEE8F85944B0CCE85BA528164B><8BDBDBF528CC1E4A9AF42FBD5496563A>]/Index[2867 43]/Info 2866 0 R/Length 92/Prev 2100937/Root 2869 0 R/Size 2910/Type/XRef/W[1 3 1]>>stream h�bbd```b``S ��7��"��"Y��e5�"`Y&6 ���%�]"��*@�L ���|H�������}$4{���_}` u�f endstream endobj startxref 0 %%EOF 2909 0 obj <>stream ~�L# E��K��w�t��t����b�S;��26fJ��4�&�б���ș��)1O�H��x�5����@��9`�K�����6dAk �h.[��m�{�����օ��)�����0�F�oP�Ya�ݞ4��S6e�a��qťy(Il�4�nu���aMz�ꢭ��ō���{�%�{<����.�ża5 ����?�|A�X 툗^�toGOY���#�}Q�.� 5��p{�p(y�d�]4�L��0�F�+d��x��usF�ڬ���#*c?*������ 6����CE��`5�QB��$������`��lL����Ib��kW�r�8��� �4�|l�����ɂ�P�n�CPJ/�A�^��-�4�k>���o��������"��U�